Kumala
Chandra L.
23215756
1EB20
Adanya benturan antara pengemudi taksi dan
angkutan konvensional dengan pelaku jasa transportasi berbasis aplikasi disebut
sudah diramalkan sejak 1985.
Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S. Adnan mengatakan, Francis Fukuyama dalam bukunya, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, mengungkapkan kemajuan teknologi akan berdampak pada bermacam hal.
Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S. Adnan mengatakan, Francis Fukuyama dalam bukunya, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, mengungkapkan kemajuan teknologi akan berdampak pada bermacam hal.
"Dengan kemajuan
teknologi, akan ada gegar budaya dan gegar berbagai macam hal," kata dia
saat dihubungi, Rabu (23/3). Artinya, Ricardi menegaskan, jika masalah semacam
ini tidak dapat diatasi secepat mungkin, ke depannya akan berpotensi
menghasilkan kerusuhan. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan adanya
aplikasi daring (online) yang digunakan pada transpotasi.
Hal tersebut, kata Ricardi, karena bahasa
pemerintah dengan sopir taksi konvensional terkesan tidak masuk. "Ini kan online, berbeda dengan
taksi karena online.
Lalu, ada orang yang memanfaatkan, inilah komunikasi yang tidak nyambung," kata dia.
Sebenarnya,
terjadi perbedaan cara pandang di kedua pihak. Di pihak pengemudi taksi
konvensional, mereka merasa dirugikan. Pertama, taksi konvensional terdaftar
secara resmi di dinas perhubungan, sehingga berhak mendapat plat kuning, tanda
angkutan umum sedangkan taksi berbasis aplikasi menggunakan kendaraan biasa,
yang bukan untuk angkutan umum. Kedua, dengan mereka resmi sebagai
angkutan umum, mereka pun berkewajiban membayar pajak yang berbeda dengan
pengguna plat hitam, plat kendaraan biasa, yang juga digunakan oleh taksi
berbasis aplikasi. Ketiga, taksi konvensional menggunakan metode menunggu
penumpang, sedangkan taksi berbasis aplikasi menjemput penumpang. Keempat, yang
paling krusial, adalah perbedaan tarif, tarif taksi konvensional jika
dibandingkan dengan tarif taksi berbasis aplikasi berbeda jauh. Terakhir, ini
adalah masalah adaptasi terhadap teknologi yang diambil peluangnya oleh
pengguna taksi berbasis aplikasi, dan belum digarap dengan baik oleh pihak
pengelola taksi konvensional.
Kini,
dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah.
Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk
disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan
perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki.
Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti
peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan
dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena
tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum
menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada.
Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini.
Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan
teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik.
Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat
kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada
sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat
peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak
ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi
kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa
yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski
demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa
modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan
rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di
ibukota kita tercinta.
Pakar Transportasi dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) Ofyar Z. Tamin menilai pemerintah adalah dalang dari segala
konflik yang terjadi antara jasa transportasi konvesional dengan transportasi
berbasis aplikasi online.
Ia menilai pemerintah tidak sigap membuat
pengaturan soal transportasi model baru seiring perkembangan teknologi yang
berjalan maju. Dampaknya benturan pun terjadi.
"Pemerintah tidak mau mikir, tidak mau capek, kalau ada masalah baru
ribut," katanya kepada Republika.co.id,
Selasa (22/3).
Penggunaan teknologi untuk kemudahan transportasi
baginya tidak ada bedanya dengan penggunaan e-book meski sudah ada penerbit
buku, jasa pengiriman barang dengan titipan kilat, internet banking terhadap
bank konvensional atau keberadaan alat telekomunikasi dan pertukaran pesan meski
sudah ada pos yang melayani surat-menyurat.
Transportasi online berdasarkan aplikasi tidak
bisa dihindarkan. Ia tidak pula bisa dilarang-larang karena timbul dari
perkembangan teknologi informasi.
Teknologi telah sedemikian rupa memenuhi
kebutuhan masyarakat masa kini yang membutuhkan mobilitas tinggi, kepastian,
kemudahan dan biaya murah.
"Online menjawab kebutuhan konsumen,"
ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah membuat
pengaturan soal pajak, di mana perusahaan transportasi online pun harus dikenai
pajak yang setara dengan perusahaan transportasi konvensional. Pengaturan
tersebut harus jelas dan adil dan dilakukan sesegera mungkin.
Justru pemungutan pajak usaha transportasi sistem
online lebih terdata dan transparan dibandingkan dengan perusahaan
konvensional. Sistem pemungutan pajak pun seharusnya bisa menyesuaikan diri
dengan perkembangan teknologi.
Sisanya, biarkan usaha-usaha transportasi
berkembang dengan kreativitasnya masing-masing. Pemerintah juga harus mengawal
agar pelayanan transportasi baik yang konvensional maupun online menjamin
keselamatan penumpang.
Bagi taksi
konvensional, misalnya, harus juga peka beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
"Tidak ada yang terlambat," lanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar