Sabtu, 09 April 2016

Kumala Chandra L.
23215756
1EB20
Transportasi Online vs Transportasi Konvensional




Adanya benturan antara pengemudi taksi dan angkutan konvensional dengan pelaku jasa transportasi berbasis aplikasi disebut sudah diramalkan sejak 1985. 

Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S. Adnan mengatakan, Francis Fukuyama dalam bukunya, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, mengungkapkan kemajuan teknologi akan berdampak pada bermacam hal.

"Dengan kemajuan teknologi, akan ada gegar budaya dan gegar berbagai macam hal," kata dia saat dihubungi, Rabu (23/3). Artinya, Ricardi menegaskan, jika masalah semacam ini tidak dapat diatasi secepat mungkin, ke depannya akan berpotensi menghasilkan kerusuhan. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan adanya aplikasi daring (online) yang digunakan pada transpotasi.
Hal tersebut, kata Ricardi, karena bahasa pemerintah dengan sopir taksi konvensional terkesan tidak masuk. "Ini kan online, berbeda dengan taksi karena online. Lalu, ada orang yang memanfaatkan, inilah komunikasi yang tidak nyambung," kata dia.

Sebenarnya, terjadi perbedaan cara pandang di kedua pihak. Di pihak pengemudi taksi konvensional, mereka merasa dirugikan. Pertama, taksi konvensional terdaftar secara resmi di dinas perhubungan, sehingga berhak mendapat plat kuning, tanda angkutan umum sedangkan taksi berbasis aplikasi menggunakan kendaraan biasa,  yang bukan untuk angkutan umum. Kedua, dengan mereka resmi sebagai angkutan umum, mereka pun berkewajiban membayar pajak yang berbeda dengan pengguna plat hitam, plat kendaraan biasa, yang juga digunakan oleh taksi berbasis aplikasi. Ketiga, taksi konvensional menggunakan metode menunggu penumpang, sedangkan taksi berbasis aplikasi menjemput penumpang. Keempat, yang paling krusial, adalah perbedaan tarif, tarif taksi konvensional jika dibandingkan dengan tarif taksi berbasis aplikasi berbeda jauh. Terakhir, ini adalah masalah adaptasi terhadap teknologi yang diambil peluangnya oleh pengguna taksi berbasis aplikasi, dan belum digarap dengan baik oleh pihak pengelola taksi konvensional.

Kini, dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah. Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada. Maka, sebenarnya solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka hendak gunakan. Kerusuhan hari ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.

Pakar Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ofyar Z. Tamin menilai pemerintah adalah dalang dari segala konflik yang terjadi antara jasa transportasi konvesional dengan transportasi berbasis aplikasi online.

Ia menilai pemerintah tidak sigap membuat pengaturan soal transportasi model baru seiring perkembangan teknologi yang berjalan maju. Dampaknya benturan pun terjadi.

"Pemerintah tidak mau mikir, tidak mau capek, kalau ada masalah baru ribut," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (22/3).

Penggunaan teknologi untuk kemudahan transportasi baginya tidak ada bedanya dengan penggunaan e-book meski sudah ada penerbit buku, jasa pengiriman barang dengan titipan kilat, internet banking terhadap bank konvensional atau keberadaan alat telekomunikasi dan pertukaran pesan meski sudah ada pos yang melayani surat-menyurat.

Transportasi online berdasarkan aplikasi tidak bisa dihindarkan. Ia tidak pula bisa dilarang-larang karena timbul dari perkembangan teknologi informasi.

Teknologi telah sedemikian rupa memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini yang membutuhkan mobilitas tinggi, kepastian, kemudahan dan biaya murah.

"Online menjawab kebutuhan konsumen," ujarnya.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah membuat pengaturan soal pajak, di mana perusahaan transportasi online pun harus dikenai pajak yang setara dengan perusahaan transportasi konvensional. Pengaturan tersebut harus jelas dan adil dan dilakukan sesegera mungkin.

Justru pemungutan pajak usaha transportasi sistem online lebih terdata dan transparan dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Sistem pemungutan pajak pun seharusnya bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Sisanya, biarkan usaha-usaha transportasi berkembang dengan kreativitasnya masing-masing. Pemerintah juga harus mengawal agar pelayanan transportasi baik yang konvensional maupun online menjamin keselamatan penumpang.

Bagi taksi konvensional, misalnya, harus juga peka beradaptasi dengan kemajuan teknologi. "Tidak ada yang terlambat," lanjutnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar